Surabaya, Krisanonline.com – Krisanis, setahun lebih sudah terlewati sejak pengumuman pertama Pemerintah RI menyarankan untuk bekerja dari rumah. Tanpa persiapan yang matang kita semua dipaksa untuk bisa bekerja dengan cara yang baru. Kerjasama dan komunikasi tim yang tadinya sangat mudah dilakukan karena berada pada satu lokasi yang sama saat ini sudah tidak banyak ditemui.

Virtual team yang tadinya hanya milik perusahaan, sekolah, kampus, atau instansi-instansi besar dengan berbagai cabang di beberapa lokasi saat ini sudah menjadi milik kita semua. Meskipun sudah berjalan lebih dari satu tahun, namun rasanya masih banyak tantangan yang dihadapi untuk bisa bekerjasama dan berkomunikasi secara efektif dalam tim virtual tersebut.

Keterbatasan jumlah tatap muka yang kita hadapi mengharuskan kita banyak berkomunikasi dengan menggunakan teknologi. Komunikasi via instant message yang sebelumnya memang sangat disukai oleh para generasi milenial, mau tidak mau juga harus digunakan setiap waktu oleh generasi pendahulunya yang secara alamiah lebih suka komunikasi tatap muka secara langsung.

Perbedaan kebiasaan dalam berkomunikasi ini ternyata juga dapat memberikan tantangan tersendiri dalam mengelola tim virtual. Jika Anda masih ingat beberapa waktu yang lalu sebelum penggunaan instant message semasif saat ini. Para “senior” lebih suka komunikasi formal dilakukan melalui email, sehingga ketika para milenial menggunakan instant message untuk komunikasi formal maka hal tersebut dinilai kurang pantas atau kurang sopan.

Rasanya masa-masa itu sudah lewat, karena saat ini kebanyakan orang sudah sangat terbiasa untuk berkomunikasi via instant message. Komunikasi yang cepat dan langsung ini dinilai menjadi cara yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan tim virtual saat ini. Namun kemudian tantangan baru pun kembali muncul.

Pernahkan Anda berpikir bahwa efektivitas komunikasi melalui instant message antara karyawan yang berbeda generasi dapat berkurang hanya karena penggunaan emoticon? Generasi milenial yang sangat ekspresif tentu sangat menyukai penggunaan emoticon di dalam setiap percakapan mereka. Namun ternyata generasi pendahulunya tidak selalu memiliki pemikiran yang sama.

Seorang milenial pernah mendapatkan teguran dari pemimpinnya karena mengirimkan pesan “Siap Pak” dengan tambahan emoticon orang memberi hormat. Sang pemimpin merasa tersinggung dan menilai hal tersebut kurang sopan. Sementara pada peristiwa yang lain seorang milenial pernah merasa baper karena sang pemimpin hanya mengirimkan pesan-pesan pendek tanpa emoticon dalam komunikasi yang mereka lakukan.

Jika Anda merasa hal ini lucu, sama halnya dengan penulis. Namun ternyata kondisi tersebut benar-benar terjadi dan nyata adanya. Tantangan berkomunikasi secara virtual sangatlah besar, bahkan untuk hal-hal sepele seperti cerita di atas pun jika tidak di-manage dengan baik dapat mengurangi efektivitas komunikasi itu sendiri.

Tantangan lainnya adalah pemilihan media komunikasi. Begitu banyak teknologi yang dapat digunakan untuk dapat berkomunikasi secara virtual, namun kita juga perlu memahami kapan kita sebaiknya menggunakan email, kapan menggunakan telepon, kapan menggunakan instant message atau kapan menggunakan video conference seperti zoom meeting atau bahkan kapan sebaiknya kita tetap harus melakukan komunikasi face to face.

Jika kita salah dalam memilih media, maka komunikasi yang seharusnya memperlancar koordinasi, bisa jadi memperburuk kondisi. Dalam piramida komunikasi, komunikasi tertulis (email, instant message) merupakan media komunikasi yang kurang intim, selanjutnya adalah komunikasi lisan tanpa tatap muka (telepon), dan yang lebih intim adalah komunikasi lisan dengan tatap muka (video conference/telepresence).

Komunikasi lisan dengan tatap muka inilah yang dianggap paling mirip dengan komunikasi face to face yang dianggap sebagai komunikasi yang paling intim. Pemilihan media komunikasi tersebut harus diselaraskan dengan tujuan dari komunikasi yang akan kita lakukan. Semakin sederhana tujuan dari komunikasi, maka kita dapat memilih media komunikasi yang kurang intim.

Namun semakin rumit/kompleks tujuan dari komunikasi yang kita lakukan maka sebaiknya menggunakan media komunikasi yang lebih intim. Jika kita hanya ingin menyampaikan ide atau update informasi saja (one way), maka kita cukup memilih media email atau instant message. Jika kita bertujuan untuk menjelaskan sesuatu atau mendapat penjelasan yang lebih jelas tentang sesuatu, maka kita dapat menggunakan telepon.

Jika kita bertujuan untuk memecahkan masalah, mendiskusikan ide-ide atau membuat keputusan kolektif maka sebaiknya gunakan media yang lebih intim seperti video conference/telepresence. Jika tujuan kita adalah membangun hubungan, negosiasi, atau menyelesaikan konflik maka sebaiknya gunakan media komunikasi yang paling intim yaitu tatap muka secara langsung, namun jika tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka pilihlah media yang paling mirip yaitu video conference.

Apabila kita mencoba menyelesaikan konflik dengan menggunakan email atau instant message, bukan hal yang mustahil bahwa konflik tersebut akan menjadi semakin besar dan tak berujung.

Semua anggota tim perlu menyepakati aturan-aturan dasar dalam berkomunikasi, misalnya terkait penggunaan emoticon dalam berkomunikasi, pemilihan media komunikasi, sampai dengan waktu berkomunikasi yang pas untuk setiap anggota tim.

Jika semua anggota menyampaikan sudut pandang mereka sejak awal dan menyepakatinya sebagai ground rules bersama, maka pemahaman anggota antara satu dan yang lain akan semakin baik. Jangan hanya berharap dipahami, pahami juga orang lain, dengan begitu komunikasi menjadi lebih berarti.

(Penulis: Pratiwi, M.M., CAC, ATP, Ketua Departemen Human Capital Management PPM Manajemen)

 

*Artikel di atas pernah dimuat di SWA Online, 25 Juli 2021, artikel dengan pengeditan redaksi. Gambar: www.google.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini