Surabaya, Krisanonline.com – Geram! Itulah satu kata yang mungkin bisa dirasakan Zhang Fe Ming (16) pagi ini. Bukan hanya pagi ini saja. Kenyataannya, gadis berambut panjang sebahu ini telah mengalaminya hampir setiap hari ketika ia berada di antara teman-teman sekolahnya. Ia dihantui rasa geram yang pekat, yang tak bisa diselami siapa pun di luar dirinya. Sebenarnya, bukan kata geram saja yang bisa mewakili perasaan hatinya. Namun, lebih dari itu. Ada perasaan marah, malu, dan kecewa pada diri sendiri. Semua berkecamuk dan bercampur aduk menjadi satu. Haruskah ia menyalahkan kedua orangtuanya yang telah melahirkannya karena statusnya etnis Tionghoa?
Bagaimana tidak! Setiap kali ia melangkah dan menggerakkan kaki dan tangannya, rasanya banyak mata yang memelototi dan banyak bibir yang mencibir. Ia terkadang merasa kesal pada dirinya mengapa ia berbeda di antara teman-teman SMA-nya? Mengapa ia harus bermata sipit, berdagu lancip, berkulit putih dan berwajah oriental? Ia merasa tidak seperti teman-teman satu kelasnya. Hal inilah yang menyebabkan ketika ia harus ke depan kelas dan membaca hasil karya puisinya, celetukan tak sedap didengar langsung muncul, “Puisi tentang apa lagi, nih? Tentang negaramu, Cina sana ya?” Itu belum seberapa. Lain lagi, saat pertandingan basket di pelajaran olahraga di sekolah, “Hei, gimana bisa masukin bola ke keranjang basket, kalau matanya merem terus? Ha …ha …ha. Melek dikit dong! Ha …ha …ha.
Peristiwa yang memunculkan semakin berkecamuk perasaannya itu sampai sekarang masih ia rasakan. Padahal, kalau boleh jujur, sebenarnya ia sudah diakui oleh negara sebagai warga negara Indonesia yang sah. Ia pun punya semangat dan rasa nasionalisme yang sama tingginya dengan teman-teman sebanyanya. Ia bukan lagi mayoritas gadis-gadis yang berakar dari negeri Panda itu. Ia bahkan sudah lebih dari gadis Indonesia pada umumnya. Gaya dan tutur sapanya, tingkah dan sikapnya, ketaatannya pada kodrat, bahkan kecintaannya akan akar budaya bangsa tidak diragukan lagi. Nyatanya, lewat keinginan kuatnya sendiri setelah lulus dari SMP swasta, ia justru memilih dan melanjutkan jenjang ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN). Di SMAN itu pula ia bergabung di sebuah sanggar tari tradisional sekolah. Ia bahkan selalu aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolahnya dan berulang kali tampil di pentas seni menarikan beragam tari khas Indonesia.
Zhang Fe Ming hanyalah satu dari banyak anak lain yang harus memendam rasa takut dari kasus bullying. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah saat ini sangat memprihatinkan siapa saja. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat bagi anak untuk menimba ilmu serta membantu membentuk karakter pribadi yang positif ,ternyata menjadi tempat tumbuhnya praktik-praktik bullying.
Bullying sendiri berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang umumnya lebih lemah atau rendah dari pelaku) yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya. Korban disebut bully boy atau bully girl. Biasanya bully berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat mungkin akan mempengaruhi korban secara psikis. Misalnya, susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi diri, cemas, dan lain-lain. Tak hanya itu, terkadang korban juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang menimpanya. Ada perasaan marah, malu, dan kecewa pada diri sendiri karena “membiarkan” kejadian tersebut terus menerus mereka alami berkepanjangan. Namun, toh mereka tak kuasa “menyelesaikan” hal tersebut. Termasuk mereka tak kuasa untuk tidak berani melaporkan pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang mengadu, provokator dan sejenisnya.
Riauskina, dkk (2005) mengelompokkan perilaku bullying ke dalam 5 kategori: (a) Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, memeras, dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain; (b) Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, mencela, memaki, menyebarkan gosip; (c) Perilaku non verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengancam, biasanya disertai bullying fisik atau verbal; (d) Perilaku non verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng); (d) Pelecehan seksual (kadang-kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal). Kelima pengelompokan bullying inilah yang biasa disebut dengan istilah school bullying. School bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa-siswi lain yang lebih lemah.
Kepincangan di tengah masyarakat
Bila ditilik dari sejarahnya kehadiran etnis Tionghoa di tanah air yang telah ada sekitar abad ke-4 s.d abad ke-7, sebenarnya telah menyatukan nenek moyang asli Indonesia dengan etnis Tionghoa. Akulturasi ini tidaklah hanya akulturasi dua manusia yang berbeda bangsa saja, tetapi telah memberi warna menjadi dua ragam budaya yang beragam dan menyatu. Di Indonesia sendiri, tidak begitu pasti jumlah populasi warga etnis Tionghoa. Namun, sejak sensus penduduk tahun 2000-an diadakan, populasinya sekitar 4% – 5% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia. Mereka kebanyakan berasal dari suku Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokcia, serta Tiochiu dan kini telah tersebar di penjuru tanah air.
Fenomena di atas sebenarnya sudah menjadi pemahaman bagi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa warga etnis Tionghoa memang telah berbaur dengan warga Indonesia. Namun, apalah artinya bila itu hanyalah sekadar dipahami semata? Mengingat pemahaman masyarakat Indonesia mengenai pengertian dari multikulturalisme sendiri sampai sekarang masihlah rendah. Itu semua tak luput doktrinasi peninggalan di masa orde baru dahulu yang hanya menitikberatkan paham monokulturalisme. Multikulturalisme tidak hanya berhenti sampai kata “perbedaan”, tetapi multikulturalisme lebih menitikberatkan pada bagaimana setiap orang mampu menghargai bahwa keanekaragaman bukanlah suatu penghalang bagi kesederajatan dan kekeluargaan. Keanekaragaman adalah suatu berkah yang harus disyukuri bersama. Inilah seharusnya dipahami oleh siapa saja agar kepincangan di antara perbedaan menjadi hilang. Terkhusus, dalam topic ini soal adanya perbedaan yang masih marak dan menjadi buah bibir antara etnis Tionghoa dan warga pribumi.
Potret yang terjadi sampai sekarang adalah multikulturalisme hanyalah dikonsep sebagai sebuah keanekaragaman suku bangsa, tetapi bukan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan. Padahal, multikulturalisme ini sendiri dibutuhkan sebagai landasan berdiri tegaknya bangsa Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi HAM serta kesejahteraan masyarakatnya. Kepincangan antara warga pribumi dan etnis Tionghoa, ini seakan bukan lagi diferensiasi yang bersifat horizontal. Namun, sudah menjadi suatu perbedaan yang bersifat vertikal. Adanya kecemburuan karena ketimpangan kesejahteraan antara warga pribumi dan etnis Tionghoa telah menjadi salah satu penyebabnya.
Kepincangan yang terjadi di tengah melajunya masa reformasi ini, akhirnya menyulut adanya kasus-kasus school bullying sebagai suatu bentuk praktik nyata di tengah masyarakat, khususnya di sekolah-sekolah. Anehnya, kepincangan ini masih dianggap sebagai suatu perilaku biasa semata. School bullying adalah sesuatu yang BIASA. Kalau tidak mem-bully orang rasanya tidak lengkap hidup ini. Mungkin begitu gambarannya. Bullying seakan tumbuh dan berkembang menjadi suatu bentuk “kebudayaan baru” di sekolah-sekolah. Berdasarkan riset dari para guru Bimbingan Konseling di SMA-SMA Surabaya disebutkan bahwa bentuk pelanggaran siswa yang sering terjadi seperti berkelahi, misalnya, sebenarnya hanya didasari oleh satu hal peristiwa mula yakni kasus bullying.
Mau dibawa ke mana?
Lalu, pertanyaannya bagaimana cara menghilangkan kasus-kasus bullying di tengah masyarakat, khususnya di sekolah-sekolah yang sudah terlanjur menjadi suatu “budaya” baru? Padahal, bila dikaji lebih dalam kasus-kasus bullying pada dasarnya tidak hanya seputar masalah antara etnis Tionghoa dan warga pribumi semata. Masih banyak kasus bullying sampai sekarang yang tidak atau belum terdeteksi. Menjadi berat menyelesaikan kasusnya karena banyak yang tidak terdeteksi atau tidak terekspos tersebut. Si korban merasa takut dan tidak berani mengaku bila mendapatkan perlakuan “perendahan” harga diri. Lalu, mau dibawa ke mana pendidikan karakter di sekolah-sekolah saat ini? Mau dibawa ke mana bila kita justru menemui kasus-kasus bullying yang terus marak di kalangan para pelajar dari hari ke hari? Padahal, seperti diketahui bersama para pelajar diharapkan menjadi tongkat estafet bangsa yang dapat mengantar kemajuan dan kejayaan negeri ini.
Bila dicermati untuk mengantisipasi kasus-kasus bullying yang terus terjadi, Republik ini sebenarnya telah bertindak nyata sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan tentang keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia. Terbukti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa adanya kesederajatan atau kedudukan yang sama antara warga negara Indonesia dengan keturunan atau peranakan Tionghoa. Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan sepertinya UU tersebut belum bisa berjalan sebagaimana mestinya atau malah penerapannya masih setengah hati. Bahkan sampai sekarang masih sering terjadi kasus-kasus school bullying. Lokasi kejadiannya mulai dari ruang kelas, toilet, kantin, halaman, pintu gerbang, bahkan di luar pagar sekolah. Jujur diakui, pada umumnya kasus-kasus school bullying tersebut sering tidak terekspos dan tidak banyak yang tahu. Hal ini tentunya berbeda dengan kasus-kasus lain, seperti pencurian, korupsi, trafficking, dan lain-lain yang beritanya langsung terekspos di media. Pertanyaanya, lalu langkah apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan kasus-kasus bullying?
Menghadang langkah bullying
Memang tidak mudah bagi kita semua untuk menghadang atau menghentikan kasus-kasus school bullying karena sifatnya yang sulit terekspos. Namun, bukan berarti tidak ada jalan atau langkah yang dapat diperbuat. Menurut hemat penulis langkah awal dan langkah dasar mengatasi kasus-kasus school bullying ini adalah : Langkah pertama dan yang terpenting adalah memaksimalkan peran guru sebagai social support. Di sini guru bertindak sebagai penyelesai masalah sosial lewat dukungan nyata. Ada lima fungsi utama dari social support. Misalnya, (a) pembuatan material (dapat dilihat atau pendukung instrumen). Semacam, penyediaan alat-alat seperti pamlet, brosur yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tindakan siswa. (b) Penguatan emosi (ekspresi atau dukungan/perhatian). Guru dapat memberikan perhatian lebih kepada mereka yang rentan mengalami bullying. (c) Pengakuan harga diri (pengakuan, dukungan/nilai). (d) Informasi (nasihat atau dukungan kognisi atau bimbingan) dan (e) Persahabatan (interaksi sosial yang positif).
Langkah kedua, Menyadarkan kembali peran orangtua sebagai pilar keluarga. Orangtua diminta jangan sering menghukum anaknya secara berlebihan. Ciptakanlah situasi rumah yang ramah, mesra, dan bahagia setiap harinya. Mengingat situasi rumah yang penuh stres, agresi, dan sarat permusuhan akan diamati dan akan ditiru oleh anak-anak mereka. Anak bisa “belajar” bahwa mereka juga dapat memiliki perilaku agresif pada orang lain pula lewat contoh dari orangtua.
Langkah ketiga, meningkatkan pemahaman tentang pengertian dan makna multikulturalisme di Indonesia untuk para pelajar. Kegiatan ini dapat diprakarsai oleh siapa saja. Bisa melalui instansi yang berwenang, para guru, dan para orangtua. Implementasinya bisa lewat pembelajaran di kelas, seminar, talkshow, dialog, sharing keluarga, dan lain-lain. Materi multikulturalisme pun bisa pula diusulkan masuk dalam kurikulum di sekolah. Seperti yang sempat disinggung oleh penulis di atas bahwa pemahaman akan makna multikulturalisme ini bukanlah hanya sebatas pemahaman dasar tentang warna-warninya kultur Indonesia. Namun, harus disertai dengan semangat saling memiliki akan aset-aset kultur nasional tersebut. Gelorakan kembali gerakan Kebinekaan Tunggal Ika. Dengan adanya rasa saling memiliki yang kuat ini, seseorang dari kawasan Indonesia bagian Barat, misalnya, dapat menghargai dan merasakan budaya dari kawasan Indonesia Timur sebagai milik bersama. Begitu pula dengan kebudayaan dari etnis Tionghoa yang dapat berbaur menjadi satu dengan budaya dari warga pribumi. Sebagai contoh sederhana, motif dan corak dominan merah pada batik Madura adalah salah satu bukti nyata bahwa kebudayaan dari etnis Tionghoa telah menjadi satu dengan warga pribumi.
Langkah keempat adalah memaksimalkan peran “alat-alat” pengawas bangsa untuk menekan maraknya kasus-kasus bullying. Alat-alat pengawas bangsa disini tidaklah selalu identik dengan kepolisian atau tentara. Namun, dalam lingkup yang kecil, misalnya, orangtua, keluarga, guru, dan masyarakat sekitar. Selama ini kasus bullying merupakan masalah yang dianggap sederhana dan tertutup. Sudah saatnya bullying harus diurai dan dicari solusi yang lebih tegas dan cerdas. Tegas bukan berarti keras. Cerdas bukan berarti ganas. Intinya, para pelaku bullying ini harus diberikan suatu sanksi. Siswa-siswi yang terbukti mem-bully temannya harus diberikan pelanggaran yang membuat efek jera. Berawal dari jeralah, seorang anak biasanya dapat membuka diri untuk memperluas pemahamannya dengan lebih baik dan tidak melakukan kesalahan yang sama.
Langkah kelima yaitu menumbuhkan kembali semangat integrasi nasional yang selama ini dimiliki dan telah menjadi jati diri bangsa melalui kegiatan musyawarah dan mufakat serta penguatan nilai-nilai keagamaan pada diri siswa di sekolah. Penerapan nilai-nilai ini bertujuan agar perilaku, etika, dan jati diri siswa akan lebih terbuka dan lebih menghargai adanya suatu perbedaan. Perbedaan merupakan suatu simfoni dari suatu keberagaman. Mulai sekarang hentikan segala bentuk perilaku bullying di sekolah. Jangan sampai kasus-kasus bullying ini terus merajalela dan memecah belah persatuan bangsa serta menjauhkan Indonesia dari cita-cita demokrasinya. Sudah saatnya generasi muda sekarang hidup harmonis di tengah perbedaan dan mampu berteriak dengan keras serta lantang: “Say No to Bullying!
(Kontributor:Putri Demes Dharmesty, Alumni SMA Santa Maria, Mantan Pemimpin Redaksi Krisanonline, Naskah Esai Juara 1 Tingkat Nasional)
gambar: www.google.com