Surabaya, Krisanonline.com – Hidup di zaman yang serba mudah, rupanya membuat masyarakat mudah dalam mencomot informasi. Informasi dapat ditemukan dengan gampang.
Tindakan menjiplak dan mencomot ide maupun hasil karya orang lain alias plagiarisme tampak sangat lumrah terjadi. Bahkan, plagiarisme sudah menjadi pola yang membentuk “kebiasaan” masyarakat. Meskipun plagiarisme telah diatur dalam berbagai pasal tentang hak cipta, rupanya tidak membuat pelaku jera. Padahal, sudah jelas diatur pada UU No. 19 tahun 2002 bahwa pelaku plagiarisme dikenakan sanksi penjara hingga 7 tahun dan/atau denda hingga 5 milyar rupiah. Di bawah ini, penulis memberikan sebab mengapa masyarakat, terkhusus generasi muda masih kerap melakukan plagiarisme.
Pertama, cari aman. Ideologi pelajar sekarang itu: “cari aman”. Ideologi ini dapat membuahkan rasa malas dalam menggali informasi. Sikap apatis pun lahir jika yang diketahui hanya menjiplak dan menyalin informasi semata. Informasi ditelan sendiri, benar atau tidak, yang penting selesai. Kedua, rendahnya minat baca dalam melakukan analisa. Tak jauh berbeda dengan poin pertama, anak muda kebanyakan menyukai segala sesuatu berbau instan. Mie instan saja sejatinya tak dapat dibilang instan karena cara membuatnya harus dilalui ‘step-by-step.’ Apa boleh buat, fasilitas dan berbagai literatur yang lengkap membuat generasi muda ogah-ogahan menganalisis kembali dalam melakukan penelitian. Ketiga, kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang kutipan. Meskipun berbagai pemicu tindakan plagiarisme sudah meresahkan masyarakat, setidaknya, penulis memiliki 4 upaya untuk menghindari plagiarisme;
Pertama, kesadaran dari diri sendiri. Jika belum ada kesadaran dari individu, maka karakter plagiarisme pada generasi muda tentu tak dapat ditinggalkan. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan dan sosialisasi mengenai bahaya plagiat di lingkungan pelajar maupun masyarakat luas secara berkelanjutan.
Kedua, memberi pengarahan tentang kutipan karya. Guru dan dosen yang seringkali hanya menyuruh membuat karya tulis tanpa memberi penjelasan gamblang mengenai aturan mengutip dan memberi sumber membuat pelajar jadi ‘seenaknya sendiri.” Nah, hal ini harus dihindari.
Ketiga, menggalakkan program wajib membaca. Meskipun terkesan sepele, tapi hal ini sangat penting untuk mereka yang masih ‘buta huruf’. Dalam hal ini, ‘buta huruf’ diartikan sebagai individu yang malas dalam membaca, menulis, dan meneliti. Ada baiknya, sejak masa sekolah digalakkan program wajib membaca dan menulis agar terbiasa berpikir kritis dan inovatif.
Keempat, berikan sanksi pidana dan sanksi sosial yang relevan. Dalam lingkup pelajar dan mahasiswa hal tersebut dapat diterapkan di sekolah/kampus dengan cara berani mengeluarkan murid/mahasiswa jika diketahui mencontek, menjiplak atau perbuatan tidak jujur lainnya. Jadilah kaum muda yang bermoral dan beretika agar terhindar dari sikap apatis dan kecurangan yang menyesatkan. Plagiarisme, No Way!
(Kontributor; Natasha Zephania, Siswi XII IPA 4 SMA Santa Maria Surabaya)
Ilustrasi gambar www.google.com