Mantra Media

Media menggenggam publik luar biasa.

Katanya, sabda lakunya menyerupai mantra.

Media juga punya kewajiban publik,

menyuguhkan hal-hal penting menjadi menarik.

(Catatan Najwa, 10 Juni 2015)

Surabaya, KrisanOnline.com – Penggalan cuplikan catatan talkshow Mata Najwa itulah, kini menjadi sumber dan penguat inspirasi bagi saya ketika saya menjalani profesi guru dan menggeluti dunia media dan komunikasi. Sejatinya cita-cita saya sewaktu kuliah adalah ingin bekerja di dunia media massa, baik cetak, elektronik, maupun viral. Namun, panggilan dan pergulatan hidup berkata lain. Saya diterima sebagai guru di SMA Santa Maria Surabaya.

Menariknya, hasrat hati yang dulunya ingin bekerja di dunia media, ternyata tersalurkan di sekolah ini. Kini, di SMA Santa Maria ada ekstrakurikuler jurnalistik (majalah Krisan sejak 12 Januari 2001 dan berganti format menjadi KrisanOnline.com sejak di-launching 1 Februari 2019 ). Tak hanya itu, ada juga ekstrakurikuler broadcast (radio Sanmar FM sejak 12 Februari 2005). Kedua ekstrakurikuler tersebut saya diminta sebagai pengajarnya. Sungguh, saya menyadari bahwa pencapaian  itu semua bukan karena serba kebetulan semata, tapi jauh dari itu karena penyertaan dan penyelenggaraan Ilahi (Providentia Dei).

Sejujurnya, saya belajar dan mengenal media itu diawali dari orangtua yang berlangganan koran sejak saya masih Sekolah Dasar. Orangtua berlangganan koran dari salah satu media cetak terbaik di tanah air. Selepas pulang sekolah, saya selalu menyempatkan diri membaca koran meski hanya ± 10 menit. Biasanya saya membacanya di sore hari. Halaman koran yang saya suka ada pada desk headline newsdesk olahraga, dan desk sosok. Ketiga rubrik itu sangat saya suka karena begitu menginspirasi.

Nah, saat saya kuliah hobi dan ketertarikan saya di media ini terus bergayung. Saya  tergabung dalam dunia pers mahasiswa (Persma). Dunia Persma yang saya jalani rutin menerbitkan majalah kampus di setiap bulannya. Saat masih kuliah juga, saya tergabung dalam tim redaksi penerbitan media di lingkungan gereja dan pernah menjadi jurnalis freelance di suatu redaksi media. Saya lakukan itu semua dengan sepenuh hati ± 2 tahun lamanya. Semuanya tanpa pamrih dan tanpa mendapat imbalan apapun. Termasuk tanpa mendapat imbalan dari sisi finansial. Keuletan dan ketekunanlah menjadi modal penopang utamanya.

Akhirnya, proses panjang itu berbuah manis. Tuhan memberkati langkah-langkah yang saya lakukan. Kini, saya bersyukur dengan profesi yang saya jalani sebagai seorang guru bahasa dan pengajar dua ekstrakurikuler yang memang sangat dekat dengan dunia media. Saya pun mendapat berkat yang melimpah menjadi seorang dosen luar biasa juga di bidang studi media dan komunikasi. Terima kasih Tuhan! (Red)

Timba Wawasan dari Krisan

Surabaya, KrisanOnline.com – Mustahil rasanya mengatakan jebolan Krisan tidak mampu berkarya di kehidupan setelah putih abu-abu. Saya ingat betul, ketika masih mengemban tugas sebagai pemimpin redaksi Krisan di tahun 2013, saya banyak membaca artikel pengalaman alumni di majalah cetak kami. Mereka orang-orang hebat yang memulai karir dari nol, dari pertemuan rutin ekstrakurikuler jurnalistik yang nomor 1 di Indonesia itu. Nyatanya, Krisan memang mampu mengantar semua alumnus, termasuk saya, jadi penulis dan manusia yang lebih baik lagi.

Tiga tahun di bangku SMA saya habiskan untuk jurnalistik (selain akademis tentunya). Saya belajar menulis berita sesuai kaidahnya. Jadi tukang liput tiap event di sekolah. Saya juga aktif berkompetisi mulai dari lomba jurnalistik, sastra masih digeluti, sampai bidang karya tulis ilmiah juga turut dimasuki. Image ‘cinta jurnalistik’ yang lekat itu tiada perlu dihilangkan dari saya. Ketika menulis ini, saya juga masih, sedang, dan akan selalu menggeluti bidang ini.

Selepas Krisan, Tuhan mengantarkan saya berkuliah di Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, memilih peminatan media. Sejak itu, saya masih saja disibukkan dengan majalah jurusan (KOMA), majalah dekanat fakultas (Jendela), majalah dinding, hingga salah satu kompetisi hard news di Yogyakarta yang saya menangkan 2017 silam. Selain itu, saya mengembangkan sayap, menggunakan seluruh bekal menulis yang kemudian saya kembangkan, menjadi kontributor dan kini pemimpin redaksi kalikata.id, sebuah website penampung opini yang serba liar dan jenaka tentang berbagai persoalan hidup.  Suatu kali, saya juga berpartisipasi menjadi volunteer Uji Kompetensi Jurnalis yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, yang membuat saya jadi kenal dan berelasi dengan banyak jurnalis beneran hingga sekarang.

Semua kebiasaan baik belajar “menjahit” 5W+1H di Seputar Sanmar, menggali kepekaan saat mewawancarai guru dan siswa berprestasi, memperkaya kemampuan deskripsi dan kosakata di Fokus 49 nyatanya berguna membantu saya menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Mulai dari jurnalistik media cetak, jurnalistik online, media dan gender, hingga produksi program televisi.

Namun percayalah, Krisan tidak hanya memberi “makan” kemampuan menulis. Selepas dari Krisan, saya tidak terus menerus duduk menghasilkan berlembar-lembar tulisan saja. Saya kemudian militan jadi aktivis organisasi kerohanian di Unair, KMK Algonz (Keluarga Mahasiswa Katolik Santo Aloysius Gonzaga). Saya juga beberapa kali mencoba peruntungan di berbagai lomba debat Hobi lama yang juga mulai muncul semasa SMA. Saya beberapa kali diminta jadi moderator atau MC di berbagai acara, sebut saja debat pemilihan Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di fakultas saya.

Lalu, apa hubungannya menulis dengan segala kegiatan saya yang lain? Saya ingat betul, ketika di Krisan, kami juga belajar kerja sama tim. Penulis harus sehati dengan fotografernya dalam mengambil angle berita. Antar penulis bersekutu menciptakan tema majalah yang spektakuler. Alur logika dan kepekaan harus tangkas saat liputan lapangan. Karena menulis adalah kemampuan yang juga membutuhkan kerjasama tim, logika, integritas, wawasan, dan kepekaan. Inilah mengapa menulis tidak tidak hanya soal menulis, tetapi bisa berbuah banyak asal kita mau bertumbuh.

Terutama di era digital, ketika Krisan mulai menyapa para pengguna gawai, seluruh warga Krisan sudah terbiasa menulis, menguji fakta dengan data, tidak mudah termakan hoaxyang kian membara, dan menjadi opinion leader yang berguna bagi masyarakat. Di mana pun dan bagaimana pun jalan yang ditempuh, saya percaya setiap insan yang membuka ‘pintu gerbang’-nya melalui Krisan dipastikan mengantongi sejumlah tugas publik yang penting untuk diemban.

Kontributor : Putri Demes Dharmesty (Mantan Pemimpin Redaksi Krisan 2013). Saat ini sedang menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga semester akhir. Aktif menulis di kalikata.id dan sedang berjuang merampungkan skripsi.

Tak Salah Pilih Bahasa

Surabaya, KrisanOnline.com – Krisanis, ketika kita mendapatkan sebuah  “permasalahan” hidup, pada hakikatnya itu merupakan cara Tuhan mendewasakan hidup kita. Seperti halnya yang saya alami. Sewaktu berada di bangku SMP saya dikenal sebagai pribadi yang kompeten, terkhusus dalam bidang akademik. Hal tersebut membuat saya menjadi sangat percaya diri. Usai lulus SMP, saya  direkomendasikan oleh orangtua untuk bersekolah di SMA Santa Maria Surabaya dan masuk jurusan IPA. Mengingat saya suka dengan pelajaran yang ada nuansa Sains-nya.

Namun, apa mau dikata, mimpi tak seindah yang dibayangkan. Saya diterima di SMA Santa Maria dan masuk jurusan Bahasa. Tentu saja hal ini membuat hati  menjadi bimbang. Begitu pun dengan orangtua. Saya sempat diminta oleh orangtua untuk pindah sekolah agar bisa masuk jurusan IPA atau IPS.Namun, setelah berefleksi diri, akhirnya keputusan saya bulat. Saya tetap memilih SMA Santa Maria dan masuk jurusan Bahasa.

Awal memasuki tahun ajaran, saya sungguh mengalami kesulitan. Apalagi, saya siswi luar pulau dan harus tinggal di asrama sesuai arahan orangtua. Memang semuanya tidak mudah. Terkhusus, saat saya harus mengatur waktu belajar maupun dalam hal mengikuti pelajaran di kelas. Nah, suatu hari saya dipanggil oleh suster asrama untuk “diperiksa” buku pribadinya. Upsss… akhirnya suster mengetahui kalau nilai-nilai pelajaran utama di bidang Bahasa, terkhusus Bahasa Jerman saya jelek. Saya diberi banyak motivasi untuk bangkit. Hari itu juga, akhirnya saya berketetapan dan bertekad agar nilai-nilai pelajaran Bahasa Jerman saya menjadi lebih baik lagi.

Seiring perjalanan waktu lewat komitmen, kerja keras, dan doa, akhirnya buah-buah kebaikan itu saya petik. Kini, nilai-nilai Bahasa Jerman  saya menjadi sangat memuaskan. Saya juga menjadi sangat senang dengan jurusan Bahasa, terkhusus Bahasa Jerman dan malah  tergabung dalam esktrakurikuler Deutsch Olymiade atau Olimpiade Jerman.

Puji Tuhan saya juga pernah mengikuti ajang kompetisi Olimpiade Bahasa Jerman, lho. Meski hanya lolos hingga tingkat provinsi hehehe…Namun, bagi saya ini sebuah pencapaian yang luar biasa. Tuhan ternyata telah membentuk pribadi saya melalui sebuah proses hidup yang telah direncanakan dengan baik. Jadi, Krisanis, percayalah dan yakinlah bahwa segala masalah yang kita hadapi adalah cara Tuhan membentuk kita menjadi pribadi yang berkualitas. Tekuni dan jalani dengan tekun serta bawa terus dalam doa. (Kontributor: Eufamia Angelika Lay Sonbay/Siswi XI Bahasa)

Felix: From Germany with Love … SMA Santa Maria

Surabaya, KrisanOnline.com – Krisanis, cerita saya ini mengenai sebuah pertukaran pelajar. Lebih tepatnya, mengapa saya memutuskan untuk melakukan pertukaran pelajar di Indonesia dan kini belajar budaya dan bahasa di SMA Santa Maria Surabaya selama ± 1 tahun lamanya.

Begini… saya mulai memikirkan pertukaran pelajar itu saat kakakku melakukan kegiatan pertukaran pelajar di Amerika.  Akhirnya, saya memutuskan pertukaran pelajar juga. Saya mulai mencari informasi dan mendaftarkan diri pada organisasi yang biasa “mengurusi” pertukaran pelajar ini. Tak mudah bagi saya untuk memutuskan lokasi pertukaran pelajar tersebut.

Lewat diskusi dan pemikiran yang panjang, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Asia Timur. Oleh karena, kultur di Eropa dan USA semuanya hampir sama seperti tempat tinggalku saat ini, yakni di Jerman. Saya ingin banyak belajar budaya dan bahasa di Asia. Saya memilih Indonesia  karena saya sudah pernah  berkunjung ke Indonesia saat saya liburan. Saya ingin banyak belajar tentang kultur, bahasa, makanan, wisata, dan tentu saja orang-orang Indonesia yang ramah dan menyenangkan.

Saat ini saya sudah beberapa bulan belajar di SMA Santa Maria Surabaya. Sebuah sekolah swasta Katolik yang terletak di jantung kota Surabaya, Jalan Raya Darmo 49. Ada banyak nilai positif dan hal-hal yang telah menginspirasi saat saya belajar di sekolah ini. Sekolah ini sungguh menerapkan disiplin tinggi dan mampu menumbuhkan semangat belajar yang baik. Di SMA Santa Maria saya menemukan banyak orang baik yang telah mampu mengubah karakter dan pengalaman hidup saya. Sungguh ini sebuah pilihan terbaik dan pengalaman terbaik buat saya selamanya.

Terima kasih juga buat AFS (sebuah organisasi yang terdiri dari warga global: siswa, keluarga, dan relawan untuk membangun pemahaman antarbudaya)  yang telah memberi panduan dan memfasilitasi saya agar dapat belajar dan tumbuh berkembang di SMA Santa Maria.  Akhir kata, maju terus Serviam-ku. Aku cinta Sanmar-ku!

(Kontributor: Felix Lamping, Siswa Pertukaran Budaya AFS dari Jerman dan saat ini belajar di kelas XI Bahasa SMA Santa Maria Surabaya)

Mamaku Penyemangatku …

Persiapan terbaik untuk besok

adalah melakukan yang terbaik

hari ini (Richard Brinsley S.)

Surabaya, Krisanonline.com – Krisanis, nama lengkap saya Batsyeba Agatha Amarilis – biasa dipanggil-  Beba. Saya anak bungsu dari empat bersaudara. Pada kesempatan kali ini saya ingin sedikit berbagi cerita dengan pembaca KrisanOnline. Begini, sejak masuk SD saya tidak pernah mengerjakan tugas-tugas sekolah secara mandiri. Bisa dikatakan semua dikerjakan oleh mama dan kakak saya. Akhirnya, hal ini membuat saya terbiasa menjadi manja dan ketergantungan dalam melakukan segala hal. Saya pun tidak pernah mendapat ranking sejak SD sampai SMP kelas VIII karena saya tidak “semangat” dalam belajar.

Saat kelas IX SMP baru saya menyadari bahwa saya harus mandiri dan rajin belajar untuk masa depan. Oleh karena, masa depan saya bukan ditentukan orang lain, tetapi oleh diri saya sendiri. Nah, sejak saat itu saya mulai melakukan segala sesuatu dengan mandiri dan mulai tekun belajar. Alhasil, saya pun mendapatkan nilai-nilai bagus di kelas dan saya masuk 10 besar.  Saya sangat senang dan membuat saya ingin terus berusaha agar nilai saya semakin bagus di semua pelajaran.

Krisanis, perjuangan tersebut ternyata tidak hanya ketika saya sampai lulus SMP saja lho. Namun, saat saya masuk SMA. Perjuangan lebih keras dan menantang telah menanti. Saya diterima di SMA Santa Maria Surabaya. Padahal, saya anak luar pulau. Dengan diterima di SMA Santa Maria Surabaya, telah terbayang dalam benak bahwa saya harus siap tinggal di kos dan tentunya jauh dari orangtua.  Saya harus siap melakukan segala sesuatu dengan benar-benar mandiri. Ya, …harus mandiri mulai dari mengerjakan tugas-tugas sekolah, menyiapkan makan dan minum, membeli perlengkapan belajar, membersihkan kamar, membeli obat ketika sakit, dan lain-lain. Upss…semua benar-benar mandiri dan tidak ada siapa pun yang membantu. Di awal-awal “perjuangan” ini, saya sempat berada di titik terendah. Terasa begitu berat dan sungguh “capek.” Mengingat, dulu semuanya telah disiapkan oleh mama dan saudara. Kini, semua harus mandiri. Pyuhhh….

Namun, dari kejauhan mama selalu memberi peneguhan, mendoakan, dan memberi semangat kepada saya agar tidak mudah patah arang. Mama meminta saya untuk melakukan yang terbaik dan jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada Tuhan.  Oleh karena, apa yang saya alami sekarang adalah sebuah proses pembentukan karakter, mental, dan pribadi yang lebih baik dan lebih tangguh untuk masa depanku kelak. “Terima kasih Tuhan. Terima kasih mama,” doaku setiap malam.

(Kontributor: Batsyeba Agatha Amarilis, Siswi XI Bahasa SMA Santa Maria Surabaya)

Belajar dari Kegagalan

Berani mencoba

Berani gagal

Berani berpengalaman.

Surabaya, KrisanOnline.com – Pepatah bijak di atas menjadi motivasi kuat bagi saya untuk melangkah menggapai cita-cita. Ya, memiliki pengalaman yang banyak adalah salah satu usaha untuk mencari jati diri bagi siapa saja. Oleh karena, pengalaman adalah guru terbaik. Mendapat pengalaman dibidang akademik, misalnya, tentu saja dapat  mengasah setiap pelajar agar dapat melampaui batas-batas kemampuan yang dimiliki.

Krisanis, ada banyak hal yang saya dapatkan ketika mencari pengalaman “baru” dibidang akademik. Baik itu pengalaman plus maupun minus. Semua itu saya jadikan motivasi dan pondasi kuat di kelak kemudian hari. Perlahan tapi pasti, Tuhan telah berkehendak  membawa saya menjadi pribadi yang mandiri, pekerja keras, dan tidak pantang menyerah. Seperti pengalaman yang baru saya dapatkan tahun lalu. Tepatnya di akhir Desember hingga awal Januari 2019.

Begini … waktu itu saya mencoba mengisi aplikasi beasiswa untuk studi di luar negeri. Informasinya saya dapatkan dari idola saya yang berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Adapun beasiswa yang saya incar ada di United World College (UWC). College ini memiliki begitu banyak cabang di beberapa Negara. Baik itu Eropa, Asia, Afrika, maupun di Negara lain. College ini seperti ketika kita belajar di SMA kelas XI dan XII. Jadi, jika diterima akan bersekolah selama 2 tahun, tetapi dengan kurikulum yang berbeda pastinya.

Semenjak mengetahui beasiswa ini, saya begitu antusias dan bertekad harus bisa mendapatkannya. Awalnya dibuka seleksi pertama. Seleksi tersebut dilakukan secara online pada website. Lalu, saya mulai dengan membaca syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan apa saja yang diperlukan agar bisa diterima pada seleksi kedua yaitu wawancara. Model seleksi pertama adalah pengisian biodata, essay, dan tentang profil orangtua. Semua harus diisi dengan lengkap menggunakan bahasa Inggris.

Sampai pada akhirnya, upss…. Ohh my God…saya ternyata tidak diterima. Oleh karena, nilai-nilai akademik saya masih belum memenuhi persyaratan. Padahal, sebenarnya kekurangan nilainya tinggal sedikit saja. Saya merasa sedih dan kecewa. Mengingat ini adalah mimpi saya untuk dapat bersekolah di luar negeri, tapi “gagal.”

Namun, dari kegagalan ini, saya segera lalu bangkit dan berusaha kembali untuk memperbaiki nilai-nilai saya dan membuat planning matang agar tidak gagal lagi kelak. Sebab, bagi saya pendidikan adalah hal utama dan segalanya. Saya percaya, Tuhan pasti suatu hari akan memberikan jalan terbaik buat saya. Oleh karena, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Jadi, kita harus segera move on untuk meraih prestasi lebih baik lagi.

(Kontributor: Marcella Geraldine Prasetio, Siswi XI Bahasa SMA Santa Maria Surabaya)

Makna Sebuah Nilai

Surabaya, KrisanOnline.Com– Krisanis, pelajar siapa pun pasti mendamba untukmendapatkan nilai bagus di semua pelajaran yang diikutinya. Namun, bila suatu hari kamu memperoleh nilai jelek dan harus menjalani remidi itu adalah bagian dari proses belajar-mengajar dalam upaya memperoleh nilai-nilai yang maksimal.

Memang untuk memperoleh nilai yang baik tidak bisa ditempuh dengan cara instan. Tentu saja diperlukan motivasi, semangat, dan belajar pantang menyerah. Mendapatkan nilai jelek bukan berarti membuatmu menjadi putus asa atau dunia seakan telah “kiamat.” Jadikanlah itu semua sebagai panduan hidup untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Ohh ya Krisanis … saya pernah mengalami situasi seperti ini. Tepatnya ketika saya duduk di awal-awal bangku SMP. Sejujurnya, di awal pembelajaran SMP dulu, saya merupakan pribadi yang cenderung tidak semangat dalam hal belajar atau bisa dikatakan “malas.” Setiap pembelajaran di kelas atau ketika ada PR selalu saja saya “mengandalkan” pekerjaan dari teman satu ke teman yang lain. Menjadi sadar belajar hanya saat ujian saja. Dan, Krisanis tentu saja bisa menebak kemudian bahwa nilai-nilai saya menjadi “hancur lebur.” Saya menjadi sedih dan orangtua juga kecewa.

Dari pengalaman itu, lalu saya sadar dan segera bangkit. Saya mencoba belajar dengan lebih tekun. “Saya harus bisa dan nilai saya harus baik,” batinku ketika memotivasi diri di saat pembelajaran di kelas setiap harinya. Nah, Puji Tuhan menginjak kelas IX SMP, akhirnya nilai-nilai saya menjadi baik dan orangtua memberi apresiasi.

Krisanis, mendapat nilai jelek dalam pelajaran itu merupakan suatu “kewajaran.” Jangan pernah sampai berpikir bahwa kamu adalah manusia paling bodoh di muka bumi ini. Upss…seperti itu jangan pernah deh! Mengingat orang-orang sukses di luar sana juga mengawalinya dari nol dan terus mencoba dan semangat pantang menyerah. Mereka tak kenal lelah dan terus belajar dari hari ke hari.

“Kelemahan bisa dijadikan motivasi untuk membangun kekuatan yang akan mampu memberi inspirasi dirimu dan di lingkungan sekitarmu. Jadi, mulai dari sekarang teruslah semangat dan tekuni setiap pekerjaan yang kita jalani dengan komitmen tinggi. Percayalah, Tuhan akan memberkati,” pesan siswi XI Bahasa.

(Kontributor: Angela Tanujaya, Siswi XI Bahasa SMA Santa Maria Surabaya)

Belajar Hidup dari Asrama

Surabaya, KrisanOnline.com– Krisanis, biasanya seseorang merantau di luar kota dilakukan oleh orang-orang saat kuliah atau bekerja. Namun, saya sudah merantau ke luar daerah sejak saya masih SMA. Tentu saja, sebelum saya memutuskan untuk bersekolah di luar kota untuk merantau telah dilalui dengan pertimbangan yang benar-benar matang. Saya memutuskan untuk bersekolah di luar kota karena di daerah saya belum ada sekolah yang memenuhi kriteria yang saya inginkan. Oleh karena itu, saya dan orangtua telah mencari informasi jauh-jauh hari tentang SMA sejak masih kelas VIII SMP.

Melalui usaha dan doa, akhirnya Tuhan menunjukkan jalan yang tepat. Saya diterima di SMA Santa Maria Surabaya. Puji Tuhan, semua dilancarkan dengan baik. Ya, mulai saat saya mendapatkan jalur prestasi, potongan pendidikan, sampai bisa masuk di jurusan IPA. Meski, saya memilih jurusan Bahasa.

Di SMA Santa Maria saya tinggal di asrama sekolah dan ada suster yang memandu kami menjadi lebih disiplin setiap harinya. Sebenarnya, saya sempat  khawatir akan pergaulan di Surabaya. Mengingat Surabaya adalah kota Metropolis kedua setelah Jakarta. Saya takut terbawa arus dan pengaruh buruk. Namun, seiring perjalanan  kenyataannya tidak seperti itu. Bisa jadi, ini semua karena didukung oleh lingkungan sehari-hari yang mengharuskan saya tinggal di asrama.

Di asrama saya mendapat banyak hal baru dan pengalaman baru. Biasanya ketika tinggal di kota asal Bali, saya tak punya teman bermain di rumah. Nah, sekarang saya memiliki banyak teman yang sudah seperti saudara kandung sendiri. Meski terkadang terjadi sedikit “pergesekan” diantara kami. Namun, inilah kehidupan yang harus ada sikap empati dan saling menghargai. Dengan bertemu banyak teman, saya banyak belajar tentang kesabaran dan menjadi tidak emosional.

Di asrama juga ada penerapan disiplin tinggi. Misalnya, pintu asrama akan dikunci bila penghuni asrama pulang lebih dari Pk. 22.00 Wib. Lalu, bila terlambat bangun pagi, maka ada sanksi mencuci piring teman-teman, dan lain-lain. Yahh… itulah hal yang membuat kenangan tak terlupa.

Ohh ya Krisanis…ketika saya tinggal di asrama pula otomatis saya tidak bisa pulang “mudik” setiap hari. Biasanya frekuensi pulang kampung dan bertemu orangtua hanya setahun dua kali saja. Tepatnya, pada libur natal dan libur kenaikan kelas. Nah, sebagai pengobat rindu pada ortu saya biasanya “kopi darat” lewat layar handphone  saja. Hehehe…

Satu hal lagi dan ini sangat penting ketika tinggal di asrama, saya harus bisa mengatur kiriman keuangan orangtua dengan baik setiap bulannya. Saya harus bisa menabung, berhemat, menahan godaan untuk tidak beli barang ini itu dan lain-lain. Namun, pengalaman-pengalaman itu semua sungguh membentuk dan melatih karakter saya menjadi lebih baik dari hari ke hari.  Akhirnya, kini saya terbiasa menjadi pribadi yang mandiri dan berkarakter. Terima kasih, Suster!

(Kontributor :Tiffany Rebecca, Siswi XI Bahasa SMA Santa Maria Surabaya)

Asah Kemampuan Lewat Krisan

Surabaya, KrisanOnline.com – Krisanis, masa-masa SMA telah saya lalui hampir tiga tahun lalu. Namun, semua kenangan tentang SMA Santa Maria tetap terpatri di memori hingga kini. Termasuk kenangan berkarya bersama Krisan. Sebelum resmi menjadi siswa SMA Santa Maria, saya sudah mengetahui Krisan sebagai salah satu unggulan di sekolah ini. Tentu saja menjadi unggulan dengan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai majalah sekolah peraih juara terbanyak bidang jurnalistik di tahun 2011.

Saya mengenal Krisan ketika saya duduk di pertengahan kelas X. Saat itu, saya sering menjalin relasi dengan para jurnalis Krisan. Para jurnalis Krisan meliput sekaligus mengapresiasi prestasi saya dan teman-teman lain melalui rubrik Citra Diri. Sering menjalin relasi dengan para jurnalis Krisan membuat saya tertarik untuk menjadi bagian dari Krisan. Apalagi masa SMA saya banyak diisi dengan mengikuti kompetisi, seperti debat, pidato, termasuk karya tulis ilmiah.

Bergabung menjadi keluarga Krisan membuat saya bersyukur. Bersyukur karena saya bisa mengasah passion dan kemampuan. Di Krisan, para jurnalis ditempa untuk selalu mengembangkan kemampuan menulis, fotografi, kreativitas, dan daya kritisnya. Krisan juga mengajarkan softskills lain untuk para jurnalisnya. Sebut saja nilai daya juang untuk mendapatkan hasil liputan yang diinginkan. Para jurnalis Krisan dilatih untuk peka melihat situasi dan mampu memaparkannya lewat tulisan yang mudah dipahami. Penulis dan fotografer juga harus dibekali kemampuan kerja sama untuk menghasilkan produk jurnalistik yang baik.

Nilai-nilai yang saya dapatkan melalui Krisan tersebut membentuk karakter saya hingga kini. Kreativitas, alur berpikir, daya juang, dan ketepatan waktu membantu saya menghadapi tantangan di bangku kuliah saat ini. Selain kegiatan akademik, saya juga menjadi brand ambassador kampus sejak tahun 2016. Saya juga terus melanjutkan passion di bidang public speaking dengan menjadi MC, moderator, dan pelatih public speaking. Berkat kemampuan menulis dari Krisan saya dipercaya untuk menjadi tim Humas Fakultas Imu Komunikasi. Pekerjaan tersebut menuntut saya untuk menulis media release, konten berita di website, dan membuat majalah dekanat setiap semester. Para alumni SMA Santa Maria pasti memiliki keunggulan dan mampu bersaing setelah lulus nanti. Banyak fasilitas dan wadah untuk mengembangkan diri, salah satunya mengasah kemampuan lewat Krisan. Sukses selalu untuk Krisan! Selamat bertransformasi menjadi KrisanOnline!

(Kontributor: Lucky Christian (Siswa Aktif-Berprestasi SMA Santa Maria 2016). Saat ini menempuh studi di semester 6 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Aktif sebagai tim humas FISIP Unair, freelance MC, dan pelatih public speaking. Profil lengkap penulis bisa diakses di: www.instagram.com/lucky.christian)

Arti Sebuah Tanggung Jawab

 

“Satu-satunya sumber pengetahuan

adalah pengalaman.”- Albert Einstein

Surabaya, KrisanOnline.com – Krisanis, ungkapan bijak di atas menjadi motivasi kuat bagi saya saat ini. Ya, memiliki banyak pengalaman dalam hidup adalah salah satu sumber terbesar untuk mendapatkan pengetahuan baru. Apalagi, kalau kita belum pernah merasakan suatu kegagalan. Tentu saja belum banyak pengalaman hidup yang  kita dapatkan. Oleh Karena itu pengalaman itulah menjadi penting.

Krisanis, banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan ketika saya memutuskan untuk tinggal jauh dari orangtua. Misalnya, bertemu dengan orang-orang baru, lingkungan baru, pekerjaan baru, dll.  Awalnya, saya merasa takut. Ya, takut apabila saya tidak mampu beradaptasi dengan baik. Tak hanya itu, saya juga merasa was-was. Was-was kalau-kalau ada apa-apa dengan diri saya karena jauh dari orangtua.

Namun, seiring waktu semua ketakutan dan rasa was-was tersebut lambat laun mulai hilang. Kini, saya berani untuk bersosialisasi dengan lingkungan baru, berkenalan dengan teman-teman baru,  baik di sekolah maupun teman-teman di kos. Sempat grogi sih dan malu. Namun, saya berusaha kuat agar cepat beradaptasi dengan baik dan segera  memiliki banyak teman. Tak hanya itu, saya juga berusaha agar dapat segera bisa hidup mandiri dan bertanggung jawab.

Misalnya, bertanggung jawab dalam mendapatkan nilai-nilai mata pelajaran yang baik, bertanggung jawab dengan barang-barang milik pribadi,  bertanggung jawab dengan kiriman keuangan dari orangtua, dll. Memang di awal saya sungguh merasakan down dan sedih. Semua harus diurus sendiri.  Namun, kini tidak lagi. Di kejauhan, saya percaya orangtua selalu support  dan mendoakan.

Terlepas dari itu, satu hal yang saya anggap penting juga adalah bahwa orangtua  menyekolahkan saya di SMA Santa Maria Surabaya ini agar saya bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Oleh karena itu, saya harus bertekad. Ya, tekad saya adalah belajar semaksimal mungkin agar saya bisa mendapatkan yang terbaik dan bisa naik kelas serta bisa membuat orangtua saya bangga. Meskipun, terkadang rasa malas menghampiri. Namun saya wajib segera bangkit lagi dan selalu berusaha semaksimal mungkin agar hasilnya pun menjadi baik dari hari ke hari. Sebab, itulah arti sebuah tanggung jawab.

 (Kontributor: Johana Tania Kurniawan, Siswi XI IPS 2 SMA Santa Maria Surabaya)