Seketika itu juga pikiranku kosong. Mataku terbelalak menatap langit-langit. Dia satu-satunya yang bisa membuatku ingin menjalani hari-hariku yang penuh dengan kesesakan batin. Dan aku tidak bisa selalu bercengkerama dengannya karena ia akan sibuk mengirim koran ke rumah-rumah lain yang berlangganan, sementara ayahku sendiri tidak berlangganan. Berhari-hari kemudian aku selalu terpuruk. Lebih parah dari sebelumnya. Aku hanya bisa melihat Dodi lewat dengan sepedanya dan melambaikan tanganku saja. Itu saja. Terus terang, hidupku berubah. Menjadi lebih gelap. Sedangkan ayahku? Tetap saja seperti itu. Tidak ada yang berubah. Jujur saja. Aku ingin lari dari semua ini. Tapi aku tidak bisa keluar dari rumah ini. Aku ingin. Mengakhiri semua ini.
Di saat aku benar-benar putus asa, pagi itu, seseorang dengan sepeda dan setumpuk koran melewati rumahku. Ia tidak menoleh ke arah rumahku. Tidak memelankan laju sepedanya. Dan aku tahu pasti, itu bukan Dodi. Esok harinya pun sama. Bukan Dodi. Dan keesokan harinya pula. Aku mengurungkan niat awalku untuk mengakhiri hidupku karena aku penasaran.
“Dimana Dodi?” Akhirnya aku mengambil langkah. Ku panggil loper koran yang tak kukenal itu dan menanyakan tentang Dodi. Ia tidak mengenal Dodi, tapi yang ia tahu, loper koran sebelumnya sudah berhenti lalu digantikan olehnya. Saat itulah aku memantapkan lagi niat awalku. Aku sudah tak tahan lagi. Tidak ada harapan yang baik untukku. Tidak ada lagi penyemangat hariku. Tidak ada senyuman di pagi hari, tidak ada lambaian ataupun sapaan itu lagi. Sudah tidak akan ada lagi.
Sorenya, aku berada di kamar mandi. Mengulang-ngulang kalimat itu sambil mengisi air bak. Namun, seseorang membunyikan bel. Entah kenapa, tapi aku menggerakkan kakiku ke pintu depan. “Hai, saya Sera, saya pegawai di percetakan koran sana. Mungkin Anda pernah dengar nama saya?” tanyanya dengan lembut. Otomatis saja aku menjawab:
“Iiya aku pernah mendengar namanya dari mulut adikku yang menghilang saat ini.” Lalu, tanpa berkata-kata lagi, Sera memberikan selembar kertas koran, selembar surat, dan seikat bunga matahari. Aku hanya menatapnya bingung.
“Baca saja,” katanya lalu beranjak pergi. Aku masuk lagi ke dalam rumah, duduk di sofa lalu mulai membuka surat itu.
“Kak, ini Dodi. Aku tulis surat ini bersama dengan bunga matahari ini buat kakak. Aku nggak mau lihat kakak sedih lagi, pucat lagi, lemas lagi setiap hari. Aku beli bunga ini pakai uang tabunganku, loh… Jadi tolong dirawat ya… Sampai tumbuh besarrrrrr nggak kayak aku yang kecil terus… hehehehe.”
Tanganku gemetar, meraih bunga matahari itu. Tetes-tetes air mata membasahi wajahku. Rasanya hampir sesak napasku. Lalu, aku meletakkan surat itu dan meraih selembar koran itu. Aku melihat sekilas dan memandang 1 judul.
“Bocah loper koran tewas tertabrak mobil setelah membeli bunga.”
Aku tergeletak di lantai menangis sekeras-kerasnya. Tak peduli bila tetangga mendengar. Adikku tiada. Adikku sudah tidak ada lagi. Selamanyaaaa!
Hanya dengan bunga ini aku bisa sayup-sayup membayangkan mendengar suaranya ketika memanggilku kakak. Aku bisa membayangkan matanya selalu berseri ketika memanggilku kakak. Aku juga bisa membayangkan senyum lebarnya ketika memanggilku kakak. Ya, kini aku hanya membayangkan saja. Membayangkan saja…Tapi, itu sebenarnya tidak cukup… (Tamat)
(Kontributor: Cynthia Melinda, Siswi XII IPA 1, SMA Santa Maria Surabaya)
Ilustrasi gambar: www.google.com