Surabaya,Krisanonline.com – Langit gelap dengan awan kelabu masih belum tergantikan dengan senyum matahari, kami berenam telah berangkat ke Belitung untuk menjelajahi pesona alam yang ada disana. Dua jam berlalu dan tibalah kami di daratan Belitung. Udara yang segar menyambut saat kami keluar dari bandara menuju rumah penginapan kami. Kami sengaja menyewa rumah penginapan yang berada dekat dengan tempat wisata yang akan kami kunjungi. Setelah melepas penat sekejap, kami bersiap-siap untuk langsung pergi menikmati beraneka hidangan alam yang disediakan pulau Laskar Pelangi ini.
Tujuan pertama kami adalah wisata bahari menuju Pulau Tanjung Tinggi. Pulau ini merupakan surga yang tersembunyi di wilayah Nusantara ini. Pasir putih, air laut yang jernih, ombak yang tenang dan batu granit raksasa sungguh memanjakan pemandangan mata kami. Tak menunggu lama, kami langsung menikmati alam ini dengan cara kami masing-masing.
Arin, yang sangat bersemangat akan hal ini, langsung naik ke puncak batu granit raksasa dengan cara memanjat. Aku kadang tak habis pikir dengannya, ia terlalu berani untuk alam melebihi Arjun dan Rama. Arjun, Rama, dan aku memutuskan untuk berenang dan snorkeling. Keindahan bawah laut di pulau ini tak mungkin mengecewakan sehingga kami tak akan menyesali keputusan kami ini. Shiren menikmati alam Tanjung Tinggi dengan duduk di batu granit yang rendah dan mengabaikan semua keindahan ini dengan kameranya. Hempasan angin dari laut membuat rambut halusnya tergerai, ia semakin manis untuk dipandang. Yang terakhir adalah Lintang. Tak kusangka, tolakan Shiren akan perasaannya tak membuatnya menyerah sedikit pun. Ia diam-diam mengamati Shiren dari bawah. Tatapannya jelas sekali menunjukkan keinginannya untuk memiliki Shiren.
“Yaelah, Bro! Cinta lama udah ditolak kok masih dipandangin?” canda Arjun. Shiren yang mendengar celotehan Arjun seketika menoleh ke arah Lintang yang masih berandai-andai dalam imajinasinya. Lintang terkejut dan langsung memalingkan wajah dan berkata, “Apaan sih, Jun? Nggak asik banget candaan lu! Udah nyemplung aja sana ke laut!”
“Enak banget disini, Tang! Rugi kalau nggak nyobain rasa air laut ini. Shiren aman kok selama ada Arin,” ajakku pada Lintang. Rama juga menyetujuiku, “Dia nggak bakal kemana-mana, bos. Jangan jauh-jauh kalau mau jalan-jalan, disekitar sini dulu aja, Shir,” katanya pada Lintang kemudian pada Shiren.
Lintang akhirnya mengikuti ajakanku dan yang lainnya untuk berenang dan meninggalkan Shiren yang masih duduk di atas batu. Ketika aku dan ketiga pemuda ini melakukan snorkeling, Arin secara diam-diam berjalan menulusuri pantai seorang diri. Shiren terlalu asyik mencari objek untuk difoto hingga ia tidak sadar bahwa ia telah berjalan terlalu jauh hingga ke bagian barat pantai dan ia tersesat disana. Belum lagi, pantai ini sedang sepi karena hari ini bukanlah hari libur.
Dua jam kemudian, aku dan keempat temanku telah puas menikmati indahnya Pulau Tanjung Tinggi ini dan berencana akan menuju Pulau Lengkuas untuk perjalanan selanjutnya. Tiba-tiba saja, Arin bertanya, “Lho, bentar deh, Shiren dimana kok nggak ada sama kita?” Aku dan yang lainnya langsung teringat bahwa Shiren tidak bersama kami dan kepanikan langsung tampak di muka kami.
“Shiren tadi duduk disitu! Bukannya kamu di atas sana ya, Rin? Harusnya kamu tahu dong Shiren kemana, kan keliatan dari atas,” tunjuk Arjun ke arah batu besar di kanannya.
“Iya tadi gue di sana, terus gue turun buat beli minum. Pas gue turun, Shiren sudah nggak ada disitu. Gue kira dia ikut Tatja,” jelas Arin. “Tadi aku berenang, Shiren kan nggak bisa berenang,” jelasku.
Aku dan yang lain akhirnya memutuskan untuk berpencar mencari Shiren. Aku dan Rama mencari ke arah timur, Lintang dan Arjun mencari ke arah barat sedangkan Arin menunggu di tempat semula mengantisipasi apabila Shiren sudah kembali.
Setelah 45 menit mencari, aku dan Rama kembali kepada Arin dan terlihat bahwa Shiren dan kedua anak yang mecarinya ke barat belum kembali. Tak lama kemudian, suara dering HP Rama berbunyi, “Halo, kenapa, Tang?” ternyata yang menelepon Rama adalah Lintang. Speaker HP Rama diaktifkan sehingga aku dan Arin dapat mendengarnya juga, “Kalian susulin gue sama Arjun ke arah barat secepatnya! Gue nemuin jejak kaki di sekitar sini. Gue butuh bantuan kalian, disini sepi banget, susah kalau cuma nyari berdua.” Aku, Arin dan Rama langsung menyusul Lintang dan Arjun ke sana dan kami berpencar lagi. Setengah jam kemudian, hasil dari pencarian kami tetap nihil.
Terlihat jelas raut wajah Lintang menunjukan bahwa ia sedang cemas dan marah. “Kalian lihat kan sekarang? Nggak seharusnya gue ninggalin Shiren sendiri! Kita semua udah tahu dia suka pergi-pergi sendiri dan sekarang dia ngilang disini, di tanah orang!” amarah Lintang telah mencapai puncak. Tiba-tiba, kami mendengar suara jeritan perempuan dari tepi laut tak jauh dari tempat kami berada. Serentak kami berteriak, “SHIREENN!!!” Kami melihat bahwa Shiren hampir terseret ombak yang menghempas dirinya dan ia sekarang menangis di tempat ia berdiri. Lintang langsung berlari ke arahnya dan merangkulnya untuk dibawa ke tempat kami berada. Tak lama kemudian, ia pun pingsan karena ketakutan. Ketiga pemuda yang ada akhirnya membopong Shiren ke tempat penginapan yang tidak jauh dari pantai ini.
Lintang yang duduk di samping Shiren dari tadi terlihat cemas. Hari sudah larut malam dan Shiren belum juga siuman. Rama tadi memang sudah memeriksa Shiren dan ia berkata bahwa Shiren pingsan karena ketakutan yang hebat dan akan segera siuman. Di tengah keheningan kami, Arin bertanya kepada Rama, “Shiren pingsan lama banget, yakin dia nggak kenapa-napa?” “Tadi gue periksa sih nggak ada yang cedera atau sampai fatal gitu. Kita tunggu sampai besok pagi ya, kalau dia belum bangun, kita bawa ke puskesmas terdekat,” jawab Rama. Baru semenit Rama diam, Shiren akhirnya membuka mata.
“Aku dimana? Dingin banget disini,” katanya dengan suara lirih dan menggigil kedinginan. Aku dan Arin langsung memeluk Shiren dan memberinya selimut.
“Kamu tadi jalan-jalan sendiri sampai ke pantai bagian barat terus ada ombak dan kena kamu, kamu tadi ketakutan sampai pingsan sampai malem,” jelas Lintang. Terdengar suaranya sudah tidak cemas. Rama juga menambahkan, “Tadi gue juga bilang kan Shir, biar nggak pergi jauh-jauh. Tapi kondisi kamu sekarang udah baikan kok, istirahat aja.”
“Maaf ya, Arin, Tatja, Arjun, Rama dan Lintang, aku udah buat kalian semua cemas. Liburan kalian hari ini pasti kacau gara-gara aku. Aku tadi bosen saat nunggu kalian, aku sedih nggak bisa berenang dan nggak seberani Arin,” Shiren berkata dengan mata mulai berkaca-kaca.
“Kamu punya keluarga disini. Jangan sedih ya, kamu bisa belajar dari kami begitu sebaliknya. Coba kamu senyum, wajah cantikmu hilang kalau kamu sedih,” rayu Lintang. “Maaf Shiren, aku nggak bisa jagain kamu dengan baik. Meski kamu sudah menolak aku, perasaan aku ke kamu nggak bisa hilang gitu aja. Aku berharap kamu ngerti,” Lintang mencoba jujur agar Shiren tidak merasa terganggu dengan perlakuan Lintang.
“Kamu nggak harus jadi pacarku untuk bisa memiliki hatiku. Kadang, saling cinta bukan berarti harus bersatu sebagai seorang pacar. Saling cinta adalah keadaan dimana kita tahu bahwa hati kita saling memiliki meski tanpa status,” kata Shiren.
“Seperti kita, enam orang sahabat yang tak akan terpisahkan, enam orang sahabat yang saling mencintai dan enam orang sahabat yang akan selalu mengagumi karya Tuhan di alam ini,” senyum Arin mengembang. Malam itu, pukul 23.23, kami merasakan kehangatan cinta sahabat dalam pelukan kebersamaan. Cieeeee……(Tamat)
(Kontributor: Brigita Dewi, Alumni SMA Santa Maria Surabaya)
Ilustrasi gambar etalase: www.google.com