JAKARTA, KOMPAS – Bahasa Indonesia ibarat jembatan atas perbedaan yang disebabkan oleh kemajemukan suku, agama, dan budaya di Nusantara. Posisinya kian kukuh sebagai lingua franca di negara dengan lebih dari 17.000 pulau ini. Kekukuhan itu serta-merta pula mendorong semakin kuatnya rasa kebangsaan.

Posisi sebagai lingua franca dipercaya telah berlangsung sejak abad ke-7 pada masa Kerajaan Sriwijaya dalam rupa bahasa Melayu. Kongres II Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 mendaulat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sejak itulah rasa kebangsaan Indonesia semakin mengental di dalam dada para pemuda.

Hingga tahun ini, Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memetakan bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Hasilnya, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Papua dan Papua Barat adalah provinsi dengan bahasa daerah terbanyak, yaitu 428 bahasa.

Banyaknya ragam bahasa daerah di satu wilayah menjadikan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan atau lingua franca amatlah penting. ”Seperti di Papua, ya, bahasa Indonesia yang menjadi lingua franca, juga untuk wilayah Maluku yang pelosok,” kata Dadang Sunendar, Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, di Jakarta, Kamis (24/10/2019).

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan badan itu, selain Papua dan Papua Barat, ditemukan ada 79 bahasa daerah di wilayah Maluku, 72 bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur, 62 bahasa di Sulawesi, 58 bahasa di Kalimantan, 26 bahasa di Sumatera, 11 bahasa di Nusa Tenggara Barat, dan 10 bahasa di Jawa dan Bali.

Peran bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan amat terasa di wilayah yang memiliki banyak ragam bahasa daerah. Pulau Alor, salah satu pulau di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, diperkirakan memiliki 30 ragam bahasa daerah.

Kami sama-sama tidak tahu bahasa daerah masing-masing sehingga satu-satunya alat untuk bisa berkomunikasi adalah bahasa Indonesia

Tak terbayang

Anis Atamai (31), warga Kota Kalabahi di pulau itu, tak bisa membayangkan akan seperti apa kehidupannya jika tak ada bahasa Indonesia. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Nusa Cendana, Kupang, itu menceritakan komposisi unik bahasa lokal di desa asalnya, Desa Manetwati, Kecamatan Alor Tengah Utara.

Desa itu berjarak sekitar 40 kilometer dari Kalabahi, ibu kota kabupaten tersebut. Anis dan warga desanya bercakap-cakap menggunakan bahasa Abui. Namun, ada satu RW di desanya yang memakai bahasa Kamang. Salah seorang penutur bahasa Kamang itu adalah Antoneta Famani (29), istrinya sendiri.

”Kami sama-sama tidak tahu bahasa daerah masing-masing sehingga satu-satunya alat untuk bisa berkomunikasi adalah bahasa Indonesia,” kata Anis. Dia juga menuturkan pentingnya peran bahasa Indonesia digunakan di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT, yang menjadi tempat pertemuan lebih banyak lagi orang-orang dengan bahasa ibu masing-masing.

Dominggus Kabnani, yang tinggal di Kupang, merasakan bahasa Indonesia (istilah setempat Melayu Kupang) membuat anak-anaknya bisa saling berinteraksi dengan teman-temannya dari suku lain di NTT. Dia berasal dari Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Bahasa Indonesia mempersatukan orang NTT. Pernyataan itu tidak mengada-ada.

”Penduduk Kupang berasal dari banyak suku dan daerah. Kalau tidak ada bahasa Indonesia, pasti anak-anak saya akan kesulitan berbicara dengan anak tetangga,” kata Dominggus, yang menjadi pegawai negeri sipil di Kupang. Simon Sabon Ola, Guru Besar Linguistik Bahasa Indonesia dari Universitas Nusa Cendana, menyebutkan, bahasa Indonesia mempersatukan orang NTT. Pernyataan itu tidak mengada-ada. Faktanya, ujar Simon, wilayah NTT mencakup tak kurang dari 500 pulau, yang menjadi rumah bagi banyak suku dan bahasa.

”Jangankan beda kecamatan. Beda jalan saja kami bisa beda bahasa,” kata Simon menggambarkan banyaknya bahasa daerah di NTT. Keragaman bahasa daerah itu juga terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar, ibu kotanya, menjadi pertemuan setidaknya bagi empat bahasa lokal yang dominan, yaitu bahasa Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Untuk memudahkan beranjangsana, mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek bahasa asal.

Perjalanan bahasa Indonesia menjadi bahasa sehari-hari yang menyatukan berbagai penutur bahasa ibu merentang panjang. Pemerhati bahasa dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjung Pinang, Haji Abdul Malik mencatat, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, pada 28 Agustus 1916.

Istilah ”bahasa Indonesia” dilontarkan M Tabrani pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926. Sementara M Yamin bersikukuh memakai ”bahasa Melayu”. Forum menyetujui usulan Tabrani. Pengukuhan nama ”bahasa Indonesia” terjadi pada Kongres II Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928. Abdul Malik mengatakan, bahasa Melayu, sebagai induk dari bahasa Indonesia, telah dipakai sebagai bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya dari abad ketujuh hingga ke-14. ”Lingua franca Kerajaan Sriwijaya adalah bahasa Melayu (Kuno),” katanya.

Adapun bentuk bahasa Melayu yang kelak didapuk sebagai bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Tinggi tempaan para pengkaji bahasa di Kerajaan Riau-Lingga. Salah satu tokoh yang paling masyhur adalah Raja Ali Haji (1808-1873). Dia menulis buku Kitab Pengetahuan Bahasa (1851) yang menjadi fondasi bahasa Indonesia.

(Kontributor: Soelastri Soekirno /Ester Lince Napitupulu / Ida Setyorini / Herlambang Jaluardi, Kompas.id., 28 Oktober 2019)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini