Membumikan Literasi Digital di Sekolah
“Sudah saya kirim cerpennya,Pak!”
“Besok, ya, Pak saya kirim puisinya lagi!”
“Resensi novelnya boleh non fiksi, Pak?”
“Apakah tulisan esai saya kemarin sudah masuk,Pak?”
“Karya saya kok belum tayang,ya, Pak?”
“Pak, boleh saya menulis lagi?”
“Ada saran untuk tulisan saya,Pak?
Pesan-pesan lewat WhatsApp (WA) di atas, kini “membanjiri” dan masuk ke WA saya setiap harinya. Ya, itulah pesan-pesan ekspresif penuh makna dari anak-anak didik di tempat saya mengajar saat ini. Saya tidak pernah menyangka dan menduga sejak kami me-launching portal infomasi digital di alamat www. krisanonline.com per 1 Februari 2019 lalu, seperti cendawan tumbuh di musim hujan.
Kini, kegiatan tulis-menulis dalam pemelajaran Bahasa Indonesia bersemi dan tumbuh berkembang di era revolusi industri 4.0 yang dikenal dengan ranah digital. Setiap anak berlomba-lomba mengirimkan tulisannya dan ingin segera dimuat (baca:ditayangkan). Setiap anak aktif menulis dengan konsep citizen journalism (jurnalistik warga) seperti yang telah saya ajarkan saat pemelajaran Bahasa Indonesia di kelas-kelas. Anak-anak beramai-ramai meliput, menulis, dan melaporkan sendiri tulisannya dengan rumus 5W + 1 H seperti yang ada pula dalam materi menulis esai pada pemelajaran Bahasa Indonesia kelas XII.
Setiap anak tidak mau kalah agar eksistensi dan kebutuhan dirinya “diakui.” Bisa jadi, ini adalah ciri khas dari generasi natif teknologi (digital native) yaitu generasi milenial dan generasi Z tentang kebutuhan diri yang harus “diakui” dari anak-anak didik yang saya ajar. Dengan mengirimkan hasil tulisannya yang di dalamnya terdapat foto diri dan kemudian ditayangkan di ranah online pada alamat web krisanonline.com, maka kebutuhan eksistensi dirinya telah “diakui.” Pada perspektif ini sekolah telah memberi sarana dan ruang ekspresi aktualisasi diri tersebut melalui portal informasi digital yang kami sebut dengan lantang: Krisanonline.com.
Berawal dari Media Cetak “Krisan”
Sejatinya berbicara tentang media massa untuk proses kreatif pemelajaran Bahasa Indonesia di SMA Santa Maria Surabaya diawali terlebih dahulu dengan adanya majalah sekolah “Krisan” cetak dengan sarana utama kertas yang telah eksis sejak 12 Januari 2001. Kala itu, “Krisan” cetak terbit setahun dua kali dan diterima langsung oleh anak-anak saat pembagian rapor per semesternya. Hingga akhir tahun 2018, majalah sekolah “Krisan” cetak telah terbit hingga edisi ke-33. Namun, saat memasuki tahun 2019 ini dan tepatnya per 1 Februari 2019 lalu, majalah sekolah “Krisan” cetak telah memasuki babak baru yang kami namakan sebuah era disrupsi “Krisan.” Ya, “Krisan” tengah memasuki suatu era disruption atau disrupsi. Apa itu disrupsi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disrupsi didefinisikan sebagai hal yang tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadi perubahan mendasar atau perubahan fundamental.
Satu hal yang membuat terjadinya perubahan yang mendasar itu adalah adanya evolusi teknologi 4.0 yang telah menerobos batas-batas kehidupan manusia. Digitalisasi adalah salah satu akibat dari evolusi teknologi 4.0 yang telah mengubah segala sendi kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan. Perubahan tak dapat dihindari karena dunia dan masyarakat pembaca yang menjadi lingkungannya pun juga berubah.
Majalah sekolah “Krisan” cetak yang awal konsepnya masih konvensional karena dibuat dengan sarana utama kertas, akhirnya “wajib” ikut menyesuaikan perubahan platform yang sedang terjadi. Perkembangan teknologi komputer yang disusul munculnya internet mengubah secara fundamental cara kerja redaksi “Krisan” yang notabene para redaksinya adalah anak-anak didik kami. Kini, siapa pun dalam membuat reportasenya dan mewartakan tulisannya memang khusus ditayangkan di internet dengan memanfaatkan seluruh kapasitas karakter medium yang ada dalam bingkai www. krisanonline.com. (bersambung)
(Penulis: F.X. Rudy Prasetya, Guru SMA Santa Maria Surabaya)