Mantra Media
Media menggenggam publik luar biasa.
Katanya, sabda lakunya menyerupai mantra.
Media juga punya kewajiban publik,
menyuguhkan hal-hal penting menjadi menarik.
(Catatan Najwa, 10 Juni 2015)
Surabaya, KrisanOnline.com – Penggalan cuplikan catatan talkshow Mata Najwa itulah, kini menjadi sumber dan penguat inspirasi bagi saya ketika saya menjalani profesi guru dan menggeluti dunia media dan komunikasi. Sejatinya cita-cita saya sewaktu kuliah adalah ingin bekerja di dunia media massa, baik cetak, elektronik, maupun viral. Namun, panggilan dan pergulatan hidup berkata lain. Saya diterima sebagai guru di SMA Santa Maria Surabaya.
Menariknya, hasrat hati yang dulunya ingin bekerja di dunia media, ternyata tersalurkan di sekolah ini. Kini, di SMA Santa Maria ada ekstrakurikuler jurnalistik (majalah Krisan sejak 12 Januari 2001 dan berganti format menjadi KrisanOnline.com sejak di-launching 1 Februari 2019 ). Tak hanya itu, ada juga ekstrakurikuler broadcast (radio Sanmar FM sejak 12 Februari 2005). Kedua ekstrakurikuler tersebut saya diminta sebagai pengajarnya. Sungguh, saya menyadari bahwa pencapaian itu semua bukan karena serba kebetulan semata, tapi jauh dari itu karena penyertaan dan penyelenggaraan Ilahi (Providentia Dei).
Sejujurnya, saya belajar dan mengenal media itu diawali dari orangtua yang berlangganan koran sejak saya masih Sekolah Dasar. Orangtua berlangganan koran dari salah satu media cetak terbaik di tanah air. Selepas pulang sekolah, saya selalu menyempatkan diri membaca koran meski hanya ± 10 menit. Biasanya saya membacanya di sore hari. Halaman koran yang saya suka ada pada desk headline news, desk olahraga, dan desk sosok. Ketiga rubrik itu sangat saya suka karena begitu menginspirasi.
Nah, saat saya kuliah hobi dan ketertarikan saya di media ini terus bergayung. Saya tergabung dalam dunia pers mahasiswa (Persma). Dunia Persma yang saya jalani rutin menerbitkan majalah kampus di setiap bulannya. Saat masih kuliah juga, saya tergabung dalam tim redaksi penerbitan media di lingkungan gereja dan pernah menjadi jurnalis freelance di suatu redaksi media. Saya lakukan itu semua dengan sepenuh hati ± 2 tahun lamanya. Semuanya tanpa pamrih dan tanpa mendapat imbalan apapun. Termasuk tanpa mendapat imbalan dari sisi finansial. Keuletan dan ketekunanlah menjadi modal penopang utamanya.
Akhirnya, proses panjang itu berbuah manis. Tuhan memberkati langkah-langkah yang saya lakukan. Kini, saya bersyukur dengan profesi yang saya jalani sebagai seorang guru bahasa dan pengajar dua ekstrakurikuler yang memang sangat dekat dengan dunia media. Saya pun mendapat berkat yang melimpah menjadi seorang dosen luar biasa juga di bidang studi media dan komunikasi. Terima kasih Tuhan! (Red)