Oleh F.X. Rudy Prasetya,S.S.,M.Med.Kom*

Krisanis, dalam “industri” layanan jasa di sekolah atau di kampus , harus diakui bahwa servis berkualitas tetap masih menjadi modal untuk berkompetisi yang andal. Bahkan di era sebelum internet berkembang pesat pun, “industri” ini sudah menjadikan servis sebagai napas dan jantungnya “bisnis.” Sebab, meskipun belum ada internet, baik tidaknya sebuah layanan, berbobot tidaknya care bisa tersebar secara word of mouth. Melalui layanan jasa yang berkualitas diharapkan brand sekolah akan mendapatkan impresi WOW service yang berujung pada brand advocate. Nah, bicara tentang WOW marketing di era kini, ternyata perkembangannya pun sangat signifikan. Secara teoritis marketing yang WOW sebenarnya telah mengalami revolusi dinamis dari marketing 1.0 sampai dengan marketing 4.0.

Pertama, marketing 1.0 adalah marketing yang berfokus pada produk atau biasa disebut   “Product-Centric Era”. Di sini produsen berfokus membuat produk yang bagus. Kegiatan marketing diarahkan sesuai dengan kemauan produsen. Keinginan konsumen tidak diperhatikan. Kedua, marketing 2.0 adalah marketing yang berfokus pada pelanggan, disebut juga “Customer-Centric Era”. Di sini produsen mencari pelanggan kemudian mempelajari need and want-nya. Kegiatan marketing diarahkan sesuai dengan kemauan pelanggan. Ketiga, marketing 3.0 adalah marketing yang berfokus pada “kemanusiaan”, disebut juga “Human-Centric Era”. Di sini produsen memperhatikan produk dan pelanggan. Kegiatan marketing diarahkan tidak hanya pada sisi fungsional dan emosional tetapi lebih ke spiritual dan human spirit. Pelaku bisnis perlu memperhatikan aktivitas “kemanusiaannya.” Keempat, marketing 4.0 adalah marketing terbaru yang terintegrasi. Bisa disebut marketing lengkap. Marketing 4.0  disebut “Human-Centric Era plus Digital.” Sebuah pendekatan pemasaran yang mengintegrasikan produk, pelanggan, nilai-nilai human spirit, dan digital conversation.

Lalu, pertanyaanya bagaimana mengaitkan tools-tools point marketing 1.0 s.d. 4.0 di atas dengan school marketing di era WOW marketing yang semakin kompetitif ini? Krisanis, bagi penulis, marketing 1.0 bisa diarahkan pada pendekatan product based oriented. Artinya, orientasi lebih ke arah untuk menyiapkan bentuk fisik seperti gedung sekolah, sarana dan prasarana, fasilitas-fasilitas penunjang serta sisi-sisi peningkatan artifisial fisik dan material lainnya. Kesemuanya bermuara pada penyediaan product based oriented yang semakin hari semakin lengkap dan representatif agar diminati customer.

Marketing 2.0 bisa difokuskan pada customer based oriented. Misalnya, layanan jasa pendidikan siswa yang berbasis pada komunikasi berasa bagi customer. Artinya sebuah strategi layanan yang berfokus pada penciptaan suasana mendukung sehingga menimbulkan kesan dan makna tak terlupakan. Sebuah layanan yang mengaktifkan keberasaan indrawi, emosional, rasional, dan sosial.

Marketing 3.0 berbasiskan pada transformasi layanan dari model marketing vertikal ke horisontal, eksklusif ke inklusif dan individual ke sosial. Pada tahap ini pemilik brand sekolah harus mampu menghasilkan output lulusan berkarakter karena konsep tools-nya yang ber-value dan memiliki nilai-nilai universal. Pendeknya, output lulusan nantinya diharapkan memiliki PDB yang kuat.

Dan, terakhir, marketing 4.0 berciri khas pada kolaborasi dari marketing 1.0, 2.0, dan  3.0 plus conversation dalam platform digital. Artinya pemilik brand perlu menstimulus customer bukan dengan tools satu arah saja. Seiring dengan pesatnya internet dan keterbukaan informasi karena customer yang semakin smart, maka mau tak mau bentuk conversation promosinya pun juga harus multichannel dan multiplatform berbasis ATL (above the line) dan BTL (below the line).

Nah, Krisanis terintegrasinya school marketing 1.0 sampai 4.0 inilah yang bisa dijadikan referensi sekaligus rujukan bagi para pemilik brand di sekolah-sekolah agar semakin meaningfull dan tetap stand out  di era persaingan mendapatkan siswa baru yang semakin hypercompetitive.

(* Penulis: Guru, Dosen, & Trainer School Marketing)

Krisanis, layaknya seperti makhluk hidup, sebuah produk (barang/jasa) juga memiliki suatu siklus hidup. Jika, makhluk hidup mengawali sebuah siklus hidup mulai dari lahir, tumbuh, berkembang. layu, dan akhirnya mati, maka sebuah produk (barang/jasa) memiliki siklus hidup yang disebut product life cycle. Product life cycle ini dalam marketing komunikasi dimulai dari introduction, beranjak ke growth, lalu memasuki mature, hingga berujung pada fase decline. Sejujurnya, kecepatan siklus hidup sebuah produk (barang/jasa) juga bergantung pada kategori produk (barang/jasa) itu sendiri. Sebuah produk (barang/jasa) yang memiliki aneka contact point marketing komunikasi yang selalu kreatif, inovatif, dan terintegrasi, tentunya akan memiliki pula fase product life cycle yang lebih panjang.

Nah, Krisanis, product life cycle ini pada dasarnya memiliki beberapa fase. Pertama, dalam fase introduction biasanya kita akan memasuki sebuah rangkaian aktivasi dari sebuah launching produk(barang/jasa). Di fase ini, pemilik brand mulai aktif memperkenalkan brand sekaligus membangun awareness yang kuat lewat aneka conctact point masif agar mendapatkan reach yang luas, tapi sesuai dengan target market yang dibidik. Beragam penetrasi “pasar” pun dilancarkan lewat beragam channel. Pendeknya, komunikasi above the line (ATL) dan komunikasi below the line (BTL) harus gencar dilakukan.

Kedua, pada fase growth. Pada tahap ini kita sudah dapat melihat apakah produk(barang/jasa) kita sudah mendapat respon positif dari customer atau belum. Pada tahap ini, pemilik brand harus tetap agresif melakukan upaya-upaya marketing komunikasi untuk merebut pangsa pasar. Obyektif plan-nya diharapkan kinerja penjualan brand akan terus naik dan melonjak sehingga dapat mengangkat growth secara signifikan sesuai target market yang ditetapkan.

Memasuki fase ketiga, yang disebut mature alias brand sudah matang/dewasa. Pada tahap ini, sejatinya kita sudah harus mulai berhati-hati terhadap brand kita. Mengapa? Ya, karena pada fase ini masa-masa awal penurunan dapat terjadi sedikit demi sedikit bahkan akan cenderung drastis. Ada titik-titik poin gejala atau indikasi yang kita jadikan warning. Misalnya, dalam lingkup marketing sekolah, misalnya, adanya gejala penurunan penerimaan siswa baru yang mulai terus stagnan. Market share siswa setiap tahun juga cenderung fluktuatif dan terus turun. Di “pasar” pun kompetisi mendapatkan siswa baru akan semakin hypercompetitive, hingga customer sudah tidak bisa melihat lagi perbedaan benefit yang ditawarkan antara brand satu sekolah dengan brand sekolah lainnya. Biasanya brand-brand sekolah yang mengalami fase ini adalah brand yang beranjak “senja” atau di atas umur 50 tahun lebih.

Fase keempat atau terakhir disebut decline. Pada tahap ini sebuah brand memperlihatkan penurunan sangat tajam atas kinerjanya. Brand yang mengalami dan memasuki fase ini umumnya adalah brand yang tidak mampu menjawab perubahan pasar dan keinginan dari customer. Bisa jadi, ini dikarenakan brand cukup nyaman berada di zona mature. Brand cukup nyaman pada strategi marketing yang itu-itu saja atau tidak mau melakukan sebuah perubahan alias masih terpola marketing konvensional. Brand tidak mampu menjawab perubahan “pasar” yang begitu cepat. Sekadar menambahkan  bahwa brand yang masuk fase growth pun juga bisa langsung mencapai ke fase decline. Kapan itu? Ya, tentu saja sepanjang brand tersebut tidak mampu menjawab perubahan “pasar” dan mengintegrasikannya dengan strategi marketing komunikasi (Markom) yang kreatif. Lalu, langkah apa atau strategi marketing komunikasi seperti apa yang perlu kita siapkan dan kita jalankan agar brand (sekolah) tetap stand out? Sabar, Krisanis. Nantikan jawabannya di Krisan edisi berikutnya, ya?.

(* Penulis: Guru, Dosen, & Trainer School Marketing)   

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini